Minggu, 29 Oktober 2017

Tragedi Sepuluh Jam.., Rifan Adlan Hakim



Rifan Adlan Hakim

Present
The real of story





TRAGEDI SEPULUH JAM
Haii, Nama saya Adho, biasa orang-orang memanggil bang Adho bang Adho, entahlah, gak penting, lupakan saja oke.
Hari ini adalah hari sabtu tanggal 7 Maret 2015 dimana bang Adho bersama 7 orang sahabat yang bernama Cepi, Iyan, Bangjo, Ridwan, Heru, Irfan dan Ari. Sedang ingin mencoba berpetualang ke salah satu gunung daerah Jawa Barat demi melepaskan penat di pikiran kami semua yang baru saja selesai Ujian Tengah semester (UTS), sebenarnya masih ada satu hari lagi buat UTS yaitu hari seninnya tanggal 9 Maret, tapi kami mengabaikannya, yang penting kami bisa refreshing dulu kemping ke gunung.
Waktu menunjukan pukul 16.00 WIB. Kami berkumpul di rumah iyan. Rumah iyan memang yang paling dekat diantara kita dengan gunung yang sudah menjadi tempat tujuan perkemahan kita. Disana kami berdiskusi, sharing, serta mengecek perlengkapan dan peralatan buat berkemah. Tidak lupa perbekalanpun di cek kembali, takutnya ada salah satu logistik yang tertinggal.
“Bray, gimana, lengkap semuanya ?” tutur Bang Adho.
‘ Sip, Sip, Sip, pokoknya siap, lengkap semuanya.” Jawab iyan.
Tiga puluh menitpun terlewati sudah, kami mulai beranjak dari rumah iyan menuju perkebunan warga yang memang jarak tempuhnya paling dekat untuk menuju lokasi.
Petualanganpun dimulai.
Kami melangkah di jalan setapak sambil di iringi kicauan burung yang sedang siap-siap menuju sarangnya masing-masing. Tidak lupa suara serangga yang bersahutan di setiap batang-batang pohon untuk melengkapi suasana sore yang indah nan mempesona. Kami berjalan dan terus berjalan.
Di awal perjalan kami melihat sebuah gubuk, yang mungkin masih bisa terpakai.
“Lihat, itu ada gubuk!” teriak Ari.
“itu adalah gubuk warga kami bray, biasanya suka di pakai buat acara ngeliwet setelah berburu babi liar”. Jelas Iyan.
“oh, jadi warga disini masih suka berburu ?” tanya cevi yang sedang membenarkan posisi rancelnya.
“ya iya lah, karena berburu adalah salah satu agenda rutinitas warga kami.” Kata Iyan menjelaskan kembali.
“Selain babi liar, apalagi yang mereka buru ?” tanya Heru.
“oh banyak, ada musang, ular, burung, kera dan mungkin binatang-binatang langka lainnya.” Iyan menjelaskan kembali.  
Disamping pembicaran tersebut, dilihatnya Irfan yang sedang mengeluarkan botol minuman. Sedangkan Bang Adho mengeluarkan sebatang rokok dan pemantiknya.
“Minumnya dong “ pinta Ari kepada Irfan.
“Beli dong” singkat Irfan
“Anjrit pelit loe” kata Ari dengan nada tinggi.
“sabar kang, bercanda juga akh” sahut Irfan sambil memberikan botol minumannya ke Ari.
“ini masih lama gak ?” kata Bangjo dengan lirih, mukanya yang pucat menandakan orang yang tidak suka melaksanakan perjalanan ke gunung.
“itu dikasih minum dulu si Bangjo !” kata Bang Adho.
“Nih” lanjut Ari yang mengasihkan botol minumannya.
Di dekatnya terdapat sebuah kolam yang cukup besar, airnya jernih, yang sepertinya air tersebut bisa dipakai untuk keperluan masak.
“ini air higenis gak Yan ?” tanya Bang adho.
“Yoi” jawab Iyan dengan santai.
“Yang benar Yan ?” lanjut Cevi.
“Asli ” kata Iyan selanjutnya.
Kami menyusuri hutan pinus. Sambil terkagum-kagum mata kami memandang. kamipun tidak henti-hentinya melihat ke paling atas pohon pinus yang tinggi. Sungguh pemandangan yang indah yang disuguhkan khusus  kepada kami semua.
Hela nafaspun begitu kencangnya. Ari yang memang ukuran badannya yang paling besar diantara kita mulai kelelahan.
“Istirahat bray” pinta Ari dengan nafas yang agak sesak.
“Uh, baru juga segini sudah cape.” Ledek Heru sambil menertawakan Ari.
“Kalau gwa sih gak cape, tapi lihat dong si Bangjo, mukanya pucat banget, gimana kalau ia pingsan di tengah jalan, mendingan kita istirahat dulu.” Kata Ari dengan nada kecut.
“Udah deh, gak usah ngeles kali”. Kata Cevi dengan nada yang menunjukan bahwasannya sedang bercanda.
Kami semua tertawa, bercanda sambil beristirahat sejenak. Bang Adhopun tidak lupa untuk mengabadikan momen ini. Semua ceria, kami pun belum menyerah, hingga akhirnya kami melanjutkan perjalanan lagi.
“Semangat ..semangat..” motivasi Bang Adho dengan nada yang cukup keras.
Tiba-tiba gerimis menyambut kita semua, beberapa menit kemudian gerimispun berhenti kembali. Dengan tanpa putus asa kami pun terus melanjutkan perjalanan ini. Dilihatnya gunung-gunung yang menjadi penguat bumi, yang menjadikan hati kami terkagum-kagum atas kebesaran Allah swt. Di samping kiri bang Adho terdapat gunung yang memang puncaknya sudah tertutup kabut. Kami pun tidak lupa mengambil gambar gunung itu, malahan kami sempat berfoto ria di depan gunung itu, subhanallah, keren, inginku daki gunung itu lalu berteriak, tapi arah kami bertolak belakang dengan gunung itu. Karena tujuan kami berjalan dan mendaki ke arah yang berlawanan.
“ ayo ayo, perjalanan kita masih jauh” teriak bang Adho.
Dilihatnya Ari yang sedang buang air di semak-semak belukar sambil berkata,
“santai bro”
Kami pun melanjutkan perjalanan lagi. Kabut mulai turun, gerimispun berhenti dengan sendirinya. Langkah kami diiringi dengan lagu-lagu yang tak karuan, bang Adho pun gak peduli mereka mau nyanyi apa juga, yang penting mereka happy.
Langit mulai gelap, sang surya tak lagi memberikan cahayanya ke bumi. Kami terus berjalan mengikuti arah jalan setapak. Berlama-lama ku nikmati jalan tersebut, tiba-tiba jalan pun buntu. Kami terdiam sejenak.
“Break dulu akh” teriak Ari.
“iya bang, kita break dulu” sahut Irfan.
Akhirnya kita semua istirahat, bang Adho pun minum seteguk air mineral untuk sekedar membasahi tenggorokan yang kering. Dilihatnya Bangjo yang malu-malu mau minta air minum ke temannya. Mukanya pucat, seperti yang sedang sakit. Padahal dia cuman sekedar kelelahan saja. Dia memang seperti itu, orangnya gengsian, dia lebih baik kelaparan dari pada harus meminta. lagipula Bangjo berasal dari keluarga yang berkecukupan, dan ini adalah kemping pertamanya. Jadi Bangjo masih memiliki sifat hidup enak, higinis, bersih pokoknya gak mau kotor. Hehehe.
Kami saling menatap, mungkin yang ada di dalam pikirannya adalah sama dengan apa yang bang Adho pikirkan. Yaitu, harus kemana jalan selanjutnya.
“Oke, keluarkan senter, kita bikin saja jalan baru. Yang di depan keluarkan juga goloknya”. Tegas bang Adho.
“Siap ... siap” sambung Heru.
“Kira-kira kita kemana nih, Iyan ?” tanya cevi.
“Gak tau bang Adho juga”. Jawab Iyan.
“Hah, gak tau ?” lanjut Cevi dengan sedikit terkejut.
“Tanya saja tuh sama Ridwan”. Kata Iyan selanjutnya.
“Sudah gak usah diributkan, sebaiknya kita lurus saja, setidaknya kita bisa menemukan air”. Lanjut bang Adho.
Akhirnya mereka berjalan sambil membuat jalan, mungkin kita salah arah, yang akhirnya kita berjalan memang di semak-semak belukar yang tinggi, yang pada akhirnya kami menebas semak tersebut untuk bisa melanjutkan perjalanan kita menuju lokasi.
Suara binatang malampun melengkapi suasana yang mencekam. Dengan batas pandang yang terbatas, kami melangkah dengan penuh hati-hati. Disekelilingnya sudah tidak kelihatan lagi pemandangan yang indah, karena yang ada hanya hitam, kelam, gelap gulita pokoknya sebatas cahaya senter saja kami mampu melihat. Sedikit-sedikit kita istirahat, mungkin perut sudah tak bisa di ajak kompromi lagi.
Ditengah perjalanan bang Adho mendengar suara air, kami pun sepakat untuk diam dan mematikan cahaya senternya. Suara hening malam di tengah hutan sangat mempesona, binatang malam pun menyambut kedatangan kami. Setelah di selidiki dengan seksama, suara air tersebut berada di bawah. Kami semua sepakat mencari jalan untuk turun ke bawah, bahkan kami membuat jalan sambil menebas-nebas ranting dan semak-semak belukar untuk kepentingan kita. Tapi sudah berlama-lama dan berusaha, akhirnya kami menyerah juga, air yang kita dengar dari atas itu sekarang hanyalah cerita, buktinya sudah ke area bawahpun kami sama sekali tidak menemukan air.
Kami istirahat, hela nafas terdengar amat kencang, pertanda bahwa insan ini lelah dan kecapean. Kami merenung dan berfikir.
“Sebenarnya posisi ku dimana ?” kata hati bang Adho dalam setiap lamunan. Merekapun berfikir hal yang sama, dimana kita ? akhirnya disana ada perdebatan cara berfikir, disisi lain ada yang terus melanjutkan ke atas, dengan dalih biar jelas dan kontras posisi kita, disisi lain ada yang balik kanan dan mencari air untuk keperluan makan kita, bang Adhopun mengalah dan mengiyakan untuk kembali melanjutkan ke atas puncak.
Setelah istirahat sejenak, kami naik lagi ke atas gunung dengan membuat jalan baru, sehubung sore telah di guyur hujan, jadi jalanan agak licin. Waktu itu posisi bang Adho ada di urutan terakhir, di depan bang Adho ada Ari.
Sebentar-sebentar bang Adho melirik ke arah belakang. Gak tau halusinasi atau sugesti, pokoknya waktu itu kami merasa ada yang ngikutin. Bang Adho berusaha dan sebisa mungkin untuk tetap waspada dan berdoa kepada Allah swt.
Tiba-tiba, kami disuguhkan jalan yang terjal dengan kemiringan 105 derajat. OMG, bagaimana ini, sudah gelap, lapar, licin, takut dan... pokonya komlit deh. Satu persatu diantara kami memanjat sambil memegang tali yang terbuat dari akar dan batang pohon. Tiba saatnta giliran ari yang memanjat, ari memanjat menghabiskan waktu yang paling lama, alhamdulillah, Ari berhasil, sekarang giliran bang Adho yang memanjat, alhamdulilah bang Adho pun berhasil, kami bekerja sama dan bahu-membahu untuk menggapai puncak. Kamipun istirahat kembali, dengan di temani beberapa batang rokok. Waktu itu kami berfoto ria di tengah gelapnya hutan belantara. Disekelilingnya terdapat pohon-pohon yang tinggi, akhirnya kamipun beranjak berdiri dan pergi melanjutkan perjalanan lagi.
Beberapa lama kemudian akhirnya kami keluar dari rimbunnya hutan, hanya semak-semak saja yang ukurannya masih setinggi lutut orang dewasa. Kami bisa melihat pemandangan kota yang penuh dengan gemerlap lampu. Waw...kerennn, namun angin langsung menusuk tubuh kami. Kami pun istirahat kembali sambil di temani secangkir kopi dan sebatang rokok.
Kami berfikir dan berdiskusi, bang Adhopun berargumen,
“sehubung puncak masih jauh, sementara kita juga tidak tahu di gunung apa ini, lebih baik kita balik kanan dengan mencari jalan yang mungkin pernah dilalui sama warga, karena bang Adho pribadi belum tahu gunung yang sedang di pijak ini.”
“tapi bang Adho, maaf, saya memprediksikan bahwa gunung tempat kita yang akan di tuju ada di balik gunung ini.” Kata Heru menegaskan.
“lagian tanggung nih bang”. Tegas Cevi.
“jadi gimana ini ?” lanjut Irfan.
“sudahlah balik kanan lagi, bang Adho juga tidak tahu gunung ini” kata Iyan selanjutnya.
Tapi Heru dan Cevi bersikeras untuk melanjutkan perjalan lagi, sementara yang lainnya ada yang setuju dengan bang Adho, ada juga yang bilang terserah semuanya saja. Akhirnya kami menuju puncak.
Di perjalan menuju puncak, bang Adho menoleh ke arah belakang dengan mata yang terpana melihat indahnya pemandangan kota di malam hari. Bang Adhopun tidak mau disebut orang yang munafik, memang pada saat itu bang Adho juga menikmatnya,
Tiba-tiba perjalanan terhambat karena sudah tidak ada lagi jalan menuju puncak, pada saat itu posisi bang Adho paling belakang, sedangkan didepan bang Adho ada Iyan.
Cevi yang jadi leadernya membuat jalan baru, semuannya mengikuti cevi, berjalan dan terus berjalan, mendaki dan teruslah kami mendaki, demi melihat pencapaian yang begitu mempesona. Tiba-tiba jalan terhenti. Bang Adho yang paling belakang diam dan bertanya-tanya. Ternyata kita salah arah. Hampir saja cevi dan Heru terjerumus ke dalam jurang. Sungguh perjalanan yang sangat menegangkan.
Akhirnya kami pun balik kanan dan mencoba mencari jalan yang biasa dilalui sawa warga. Diantara kami belum ada yang tersadar bahwa sekarang sudah menunjukan pukul 23:50 WIB,
Kami berjalan dan sekarang yang jadi leadernya adalah bang Adho. Di belakang bang Adho ada Cevi, alhamdulillah kita bisa menemukan jalan setapak yang mungkin biasa dilalui oleh warga sekitar. Kami berjalan agak cepat, pokoknya yang ada dipikiran kami adalah air, tempat yang datar, dan ingin cepat-cepat mendirikan tenda.
Tiba-tiba kami memasuki jalan yang penuh dengan pohon-pohon yang rimbun, seolah-olah kami memasuki wilayah terowongan pepohonan. Bang Adho merasa bahwa tempat itu terdapat aura negatif. Dan bang Adho merasa bahwa teman-teman bang Adho juga berfikir hal yang sama. Akhirnya bang Adho nyanyi-nyanyi sambil berjalan dengan suara yang keras, guna untuk membuat tidak takut baik buat bang Adho sendiri maupun buat teman-teman bang Adho. Hehehe
Lalu langkah bang Adho terhenti. Karena dilihatnya pandangan didepan yang gelap dan sudah tak terlihat lagi jalan setapak. Yang ada hanya ilalang-ilalang saja yang mengarah ke bawah yang kira-kira berkisar 5 meteran. Disorotnya ilalang tersebut ternyata memberi kabar yang membahagiakan, bahwa kita sebentar lagi sampai di tempat warga penduduk sekitar.
Bang Adho berjalan menuju bawah sambil berpegangan dengan Cevi, begitu juga Cevi berpegangan tangan dengan yang lainnya, dan posisi yang paling belakang adalah Heru. Tiba-tiba bang Adho terjatuh, kira-kira ketinggiannya dua meteran, Cevi pun terjatuh dan yang lainnya juga terjatuh. Lalu bang Adho melangkah ke depan lagi dan ternyata bang Adho pun terjatuh lagi, kira-kira ketinggiannya adalah lima meter. Sehubung bang Adho berpegangan tangan dengan cevi, Cevi pun ikut terjatuh juga, dan semuannya terjatuh, brug..brug.. semuanya tertawa, ramai karena dilihatnya Heru pun terjatuh juga. Kami mengibaskan baju karena biar tidak terlalu kotor, sambil tertawa-tawa.
Tiba-tiba tanah yang kita pijak ini ambruk ke bawah, serentak kita berteriak. Kita terjatuh, bangun lagi dan terjatuh lagi dan begitulah seterusnya. Hingga pada akhirnya kami menyorot bagian depan kita terlihat ada pepohonan, yang menandakan bahwa kami tak akan terjatuh lagi. Kami juga lupa entah berapa kali bang Adho dan teman-teman terjatuh. Tiba-tiba ada diantara kita yang bilang bahwa kita terjatuh di atas gunung yang pada waktu sore hari kita sempat berfoto ria, semuanya mengiyakan. Astagfirulloh, ternyata kita terjatuh di ketinggian 200 meter. Memang diantara kami tak ada yang terluka, yang ada hanya keceriaan, tertawa, mengulang kembali dan membahas bagai mana kita terjatuh. Sungguh pengalaman yang sangat mengesankan.
Kami berfikir untuk kembali dan mencari gubuk.rencananya kita beristrahat dan mendirikan tenda di sana, lagi pula gubuk itu biasa dipakai untuk bermalam sama warga sekitar ketika sedang berburu. Kami berjalan. Dan perseteruanpun kembali memanas.
Sudah muter-muter, kesana-kemari, gubuk itu tak bisa kami temukan, entah kenapa, seolah-olah gubuk itu raib tanpa bekas, padahal jelas-jelas kami semua melihat kokohnya gubuk tersebut pada waktu sore hari. Orang-orang pada menyalahkan iyan, karena hanya iyanlah yang asli penduduk sini. Tanpa sengaja kita berhasil menemukan aliran sungai, sehubung kami tak bisa menemukan gubuk itu, akhirnya kami bersepakat untuk berkemah disini yang berposisi di hutan pinus. Jarak tempat berkemah ke sungai sekitar lima belas meter.
Kami mendirikan tenda, sebagian ada yang mengambil air untuk keperluan memasak, sebagian lagi ada yang mencari kayu bakar. Di lihatnya waktu yang telah menunjukan pukul 02:00 WIB, kami baru tersadar bahwa kami telah berjalan, mendaki, terjatuh yang semuanya telah menghabiskan waktu selama sepuluh jam. Astagfirullohal’adzim.
Kamipun riang dengan kejadian tersebut, ramai, justru menjadikan sebuah pengalam baru yang insyaaaaAlloh takan terlupakan. Dan kami hanya bisa memetik hikmahnya, karena hanya orang bijaklah yang bisa mengambil hikmah di setiap peristiwa.
Makananpun sudah memanggil kita, perut kami sudah tak sabar untuk makan, kami makan bersama, lalu ngopi bareng, amunisi bareng, yang semuanya itu didukung oleh alam, faktanya rembulanpun mau menerangi kami yang sedang merasakan nikmat dan indahnya di malam hari. Suasana yang dingin, berisik dengan suara-suara binatang malam, menjadikan lengkaplah sudah akan keindahan ciptahan Allah SWT di malam hari, bang Adhopun bisa menyimpulkan, bahwa kendati kita berada di sebuah hutan yang gelap gulita, ternyata dibalik kegelapan malam, terdapat cahaya kunang-kunang yang mampu menjadikan hati insan yang beriman akan bertambah.
Lambat laun kami semua tertidur, setahu bang Adho terakhir melihat waktu di sebuah handphone telah menunjukan pukul 03:55 pagi. Bang Adhopun tak tahu jelas kejadiannya seperti apa, yang jelas bang Adho bangun dengan posisi tengkurup di dekat api unggun, dan di samping bang Adho ada Irfan dan Heru. Waktu itu jam menunjukan pukul 05:25, bang Adhopun beranjak pergi ke sungai dan mengambil air wudhu. Sholat subuhpun diiringi dengan kicauan burung yang merdu, sang suryapun sedang malu-malu memberikan cahayanya. Perlahan-lahan kabut mulai pudar.
Satu persatu kami bangun dengan sendirinya. Ada di antara kami yang sedang masak air. Asap dari perapian yang kami buat menjadikan suasana menjadi ramai kembali. Kami kembali bekerja sama memasak nasi, dimana kita bekerjasama, disana pula kita bercanda. Sejuknya pagi sambil di terangi hangatnya mentari menjadikan hutan yang terkesan horor ini seolah-olah disulap menjadi surganya dunia. Sungguh tidak salah perintah Allah kepada setiap hamba-Nya untuk senantiasa mentafakuri, mentadzaburi dan mentasyakuri ciptaan-Nya.
Akhirnya sarapan pagi pun di mulai, kita makan dengan lahapnya, amunisi serta kopi takan pernah terlewatkan. Pancaran senyum dari kami semua laksana pahlawan yang baru selesai berjuang di medan perang.
Setelah menikmati sebagian keindahan alam ini, kami semua berkemas, membereskan masing-masing  logistik dan properti.
Kami berdiri dan mengabadikan momen tersebut serta berdoa supaya diselamatkan dan di sampaikanlah kami semua ke rumahnya masing-masing. Amin..amin yaa robbal’alamin.
Kaki kananku mewakili langkah kami. Semua bersorak, bergembira, mulailah mencari jalan keluar munuju warga daerah setempat. Hanya sekitar 10 menit kami sudah sampai di rumah penduduk. Padahal semalam kami sangat sulit mencari jalan keluar dari hutan ini. Tapi semuanya tidak menjadikan kami rugi,  justru kami beruntung, ternyata Allah SWT tetap bang Adhong kepada kami semua, buktinya kami masih diberi nikmat sehat wal afiyat.
Semoga cerita pengalaman bang Adho, menjadi insfirasi buat para pembaca, bahwa Allah SWT tidak akan memberikan cobaan diluar batas kemampuan manusia itu sendiri.
Terimakasih buat Cevi, Irfan, Iyan, Heru, Ridwan, Ari, dan Bangjo.



Bandung,  Maret 2015

                                                           

                                        Rifan Adlan Hakim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar