Rifan
Adlan Hakim
Present
The real of story
TRAGEDI SEPULUH JAM
Haii, Nama saya Adho, biasa orang-orang memanggil bang Adho bang Adho, entahlah, gak
penting, lupakan saja oke.
Hari
ini adalah hari sabtu tanggal 7 Maret 2015 dimana bang Adho bersama 7 orang
sahabat yang bernama Cepi, Iyan, Bangjo, Ridwan, Heru, Irfan dan Ari. Sedang
ingin mencoba berpetualang ke salah satu gunung daerah Jawa Barat demi
melepaskan penat di pikiran kami semua yang baru saja selesai Ujian Tengah
semester (UTS), sebenarnya masih ada satu hari lagi buat UTS yaitu hari
seninnya tanggal 9 Maret, tapi kami mengabaikannya, yang penting kami bisa
refreshing dulu kemping ke gunung.
Waktu
menunjukan pukul 16.00 WIB. Kami berkumpul di rumah iyan. Rumah iyan memang
yang paling dekat diantara kita dengan gunung yang sudah menjadi tempat tujuan
perkemahan kita. Disana kami berdiskusi, sharing, serta mengecek perlengkapan
dan peralatan buat berkemah. Tidak lupa perbekalanpun di cek kembali, takutnya
ada salah satu logistik yang tertinggal.
“Bray,
gimana, lengkap semuanya ?” tutur Bang Adho.
‘
Sip, Sip, Sip, pokoknya siap, lengkap semuanya.” Jawab iyan.
Tiga
puluh menitpun terlewati sudah, kami mulai beranjak dari rumah iyan menuju
perkebunan warga yang memang jarak tempuhnya paling dekat untuk menuju lokasi.
Petualanganpun
dimulai.
Kami
melangkah di jalan setapak sambil di iringi kicauan burung yang sedang
siap-siap menuju sarangnya masing-masing. Tidak lupa suara serangga yang
bersahutan di setiap batang-batang pohon untuk melengkapi suasana sore yang
indah nan mempesona. Kami berjalan dan terus berjalan.
Di
awal perjalan kami melihat sebuah gubuk, yang mungkin masih bisa terpakai.
“Lihat,
itu ada gubuk!” teriak Ari.
“itu
adalah gubuk warga kami bray, biasanya suka di pakai buat acara ngeliwet setelah berburu babi liar”.
Jelas Iyan.
“oh,
jadi warga disini masih suka berburu ?” tanya cevi yang sedang membenarkan
posisi rancelnya.
“ya
iya lah, karena berburu adalah salah satu agenda rutinitas warga kami.” Kata
Iyan menjelaskan kembali.
“Selain
babi liar, apalagi yang mereka buru ?” tanya Heru.
“oh
banyak, ada musang, ular, burung, kera dan mungkin binatang-binatang langka
lainnya.” Iyan menjelaskan kembali.
Disamping
pembicaran tersebut, dilihatnya Irfan yang sedang mengeluarkan botol minuman.
Sedangkan Bang Adho mengeluarkan sebatang rokok dan pemantiknya.
“Minumnya
dong “ pinta Ari kepada Irfan.
“Beli
dong” singkat Irfan
“Anjrit
pelit loe” kata Ari dengan nada tinggi.
“sabar
kang, bercanda juga akh” sahut Irfan sambil memberikan botol minumannya ke Ari.
“ini
masih lama gak ?” kata Bangjo dengan lirih, mukanya yang pucat menandakan orang
yang tidak suka melaksanakan perjalanan ke gunung.
“itu
dikasih minum dulu si Bangjo !” kata Bang Adho.
“Nih”
lanjut Ari yang mengasihkan botol minumannya.
Di
dekatnya terdapat sebuah kolam yang cukup besar, airnya jernih, yang sepertinya
air tersebut bisa dipakai untuk keperluan masak.
“ini
air higenis gak Yan ?” tanya Bang adho.
“Yoi”
jawab Iyan dengan santai.
“Yang
benar Yan ?” lanjut Cevi.
“Asli
” kata Iyan selanjutnya.
Kami
menyusuri hutan pinus. Sambil terkagum-kagum mata kami memandang. kamipun tidak
henti-hentinya melihat ke paling atas pohon pinus yang tinggi. Sungguh
pemandangan yang indah yang disuguhkan khusus
kepada kami semua.
Hela
nafaspun begitu kencangnya. Ari yang memang ukuran badannya yang paling besar
diantara kita mulai kelelahan.
“Istirahat
bray” pinta Ari dengan nafas yang agak sesak.
“Uh,
baru juga segini sudah cape.” Ledek Heru sambil menertawakan Ari.
“Kalau
gwa sih gak cape, tapi lihat dong si Bangjo, mukanya pucat banget, gimana kalau
ia pingsan di tengah jalan, mendingan kita istirahat dulu.” Kata Ari dengan
nada kecut.
“Udah
deh, gak usah ngeles kali”. Kata Cevi dengan nada yang menunjukan bahwasannya
sedang bercanda.
Kami
semua tertawa, bercanda sambil beristirahat sejenak. Bang Adhopun tidak lupa untuk
mengabadikan momen ini. Semua ceria, kami pun belum menyerah, hingga akhirnya kami
melanjutkan perjalanan lagi.
“Semangat
..semangat..” motivasi Bang Adho dengan nada yang cukup keras.
Tiba-tiba
gerimis menyambut kita semua, beberapa menit kemudian gerimispun berhenti
kembali. Dengan tanpa putus asa kami pun terus melanjutkan perjalanan ini.
Dilihatnya gunung-gunung yang menjadi penguat bumi, yang menjadikan hati kami
terkagum-kagum atas kebesaran Allah swt. Di samping kiri bang Adho terdapat
gunung yang memang puncaknya sudah tertutup kabut. Kami pun tidak lupa
mengambil gambar gunung itu, malahan kami sempat berfoto ria di depan gunung
itu, subhanallah, keren, inginku daki gunung itu lalu berteriak, tapi arah kami
bertolak belakang dengan gunung itu. Karena tujuan kami berjalan dan mendaki ke
arah yang berlawanan.
“
ayo ayo, perjalanan kita masih jauh” teriak bang Adho.
Dilihatnya
Ari yang sedang buang air di semak-semak belukar sambil berkata,
“santai
bro”
Kami
pun melanjutkan perjalanan lagi. Kabut mulai turun, gerimispun berhenti dengan
sendirinya. Langkah kami diiringi dengan lagu-lagu yang tak karuan, bang Adho pun
gak peduli mereka mau nyanyi apa juga, yang penting mereka happy.
Langit
mulai gelap, sang surya tak lagi memberikan cahayanya ke bumi. Kami terus
berjalan mengikuti arah jalan setapak. Berlama-lama ku nikmati jalan tersebut,
tiba-tiba jalan pun buntu. Kami terdiam sejenak.
“Break
dulu akh” teriak Ari.
“iya
bang, kita break dulu” sahut Irfan.
Akhirnya
kita semua istirahat, bang Adho pun minum seteguk air mineral untuk sekedar
membasahi tenggorokan yang kering. Dilihatnya Bangjo yang malu-malu mau minta
air minum ke temannya. Mukanya pucat, seperti yang sedang sakit. Padahal dia
cuman sekedar kelelahan saja. Dia memang seperti itu, orangnya gengsian, dia
lebih baik kelaparan dari pada harus meminta. lagipula Bangjo berasal dari
keluarga yang berkecukupan, dan ini adalah kemping pertamanya. Jadi Bangjo
masih memiliki sifat hidup enak, higinis, bersih pokoknya gak mau kotor.
Hehehe.
Kami
saling menatap, mungkin yang ada di dalam pikirannya adalah sama dengan apa
yang bang Adho pikirkan. Yaitu, harus kemana jalan selanjutnya.
“Oke,
keluarkan senter, kita bikin saja jalan baru. Yang di depan keluarkan juga
goloknya”. Tegas bang Adho.
“Siap
... siap” sambung Heru.
“Kira-kira
kita kemana nih, Iyan ?” tanya cevi.
“Gak
tau bang Adho juga”. Jawab Iyan.
“Hah,
gak tau ?” lanjut Cevi dengan sedikit terkejut.
“Tanya
saja tuh sama Ridwan”. Kata Iyan selanjutnya.
“Sudah
gak usah diributkan, sebaiknya kita lurus saja, setidaknya kita bisa menemukan
air”. Lanjut bang Adho.
Akhirnya
mereka berjalan sambil membuat jalan, mungkin kita salah arah, yang akhirnya
kita berjalan memang di semak-semak belukar yang tinggi, yang pada akhirnya
kami menebas semak tersebut untuk bisa melanjutkan perjalanan kita menuju
lokasi.
Suara
binatang malampun melengkapi suasana yang mencekam. Dengan batas pandang yang
terbatas, kami melangkah dengan penuh hati-hati. Disekelilingnya sudah tidak
kelihatan lagi pemandangan yang indah, karena yang ada hanya hitam, kelam,
gelap gulita pokoknya sebatas cahaya senter saja kami mampu melihat.
Sedikit-sedikit kita istirahat, mungkin perut sudah tak bisa di ajak kompromi
lagi.
Ditengah
perjalanan bang Adho mendengar suara air, kami pun sepakat untuk diam dan
mematikan cahaya senternya. Suara hening malam di tengah hutan sangat
mempesona, binatang malam pun menyambut kedatangan kami. Setelah di selidiki
dengan seksama, suara air tersebut berada di bawah. Kami semua sepakat mencari
jalan untuk turun ke bawah, bahkan kami membuat jalan sambil menebas-nebas
ranting dan semak-semak belukar untuk kepentingan kita. Tapi sudah berlama-lama
dan berusaha, akhirnya kami menyerah juga, air yang kita dengar dari atas itu
sekarang hanyalah cerita, buktinya sudah ke area bawahpun kami sama sekali
tidak menemukan air.
Kami
istirahat, hela nafas terdengar amat kencang, pertanda bahwa insan ini lelah
dan kecapean. Kami merenung dan berfikir.
“Sebenarnya
posisi ku dimana ?” kata hati bang Adho dalam setiap lamunan. Merekapun
berfikir hal yang sama, dimana kita ? akhirnya disana ada perdebatan cara
berfikir, disisi lain ada yang terus melanjutkan ke atas, dengan dalih biar
jelas dan kontras posisi kita, disisi lain ada yang balik kanan dan mencari air
untuk keperluan makan kita, bang Adhopun mengalah dan mengiyakan untuk kembali
melanjutkan ke atas puncak.
Setelah
istirahat sejenak, kami naik lagi ke atas gunung dengan membuat jalan baru,
sehubung sore telah di guyur hujan, jadi jalanan agak licin. Waktu itu posisi bang
Adho ada di urutan terakhir, di depan bang Adho ada Ari.
Sebentar-sebentar
bang Adho melirik ke arah belakang. Gak tau halusinasi atau sugesti, pokoknya
waktu itu kami merasa ada yang ngikutin. Bang Adho berusaha dan sebisa mungkin
untuk tetap waspada dan berdoa kepada Allah swt.
Tiba-tiba,
kami disuguhkan jalan yang terjal dengan kemiringan 105 derajat. OMG, bagaimana
ini, sudah gelap, lapar, licin, takut dan... pokonya komlit deh. Satu persatu
diantara kami memanjat sambil memegang tali yang terbuat dari akar dan batang
pohon. Tiba saatnta giliran ari yang memanjat, ari memanjat menghabiskan waktu
yang paling lama, alhamdulillah, Ari berhasil, sekarang giliran bang Adho yang
memanjat, alhamdulilah bang Adho pun berhasil, kami bekerja sama dan
bahu-membahu untuk menggapai puncak. Kamipun istirahat kembali, dengan di
temani beberapa batang rokok. Waktu itu kami berfoto ria di tengah gelapnya
hutan belantara. Disekelilingnya terdapat pohon-pohon yang tinggi, akhirnya
kamipun beranjak berdiri dan pergi melanjutkan perjalanan lagi.
Beberapa
lama kemudian akhirnya kami keluar dari rimbunnya hutan, hanya semak-semak saja
yang ukurannya masih setinggi lutut orang dewasa. Kami bisa melihat pemandangan
kota yang penuh dengan gemerlap lampu. Waw...kerennn, namun angin langsung
menusuk tubuh kami. Kami pun istirahat kembali sambil di temani secangkir kopi
dan sebatang rokok.
Kami
berfikir dan berdiskusi, bang Adhopun berargumen,
“sehubung
puncak masih jauh, sementara kita juga tidak tahu di gunung apa ini, lebih baik
kita balik kanan dengan mencari jalan yang mungkin pernah dilalui sama warga,
karena bang Adho pribadi belum tahu gunung yang sedang di pijak ini.”
“tapi
bang Adho, maaf, saya memprediksikan bahwa gunung tempat kita yang akan di tuju
ada di balik gunung ini.” Kata Heru menegaskan.
“lagian
tanggung nih bang”. Tegas Cevi.
“jadi
gimana ini ?” lanjut Irfan.
“sudahlah
balik kanan lagi, bang Adho juga tidak tahu gunung ini” kata Iyan selanjutnya.
Tapi
Heru dan Cevi bersikeras untuk melanjutkan perjalan lagi, sementara yang
lainnya ada yang setuju dengan bang Adho, ada juga yang bilang terserah
semuanya saja. Akhirnya kami menuju puncak.
Di
perjalan menuju puncak, bang Adho menoleh ke arah belakang dengan mata yang
terpana melihat indahnya pemandangan kota di malam hari. Bang Adhopun tidak mau
disebut orang yang munafik, memang pada saat itu bang Adho juga menikmatnya,
Tiba-tiba
perjalanan terhambat karena sudah tidak ada lagi jalan menuju puncak, pada saat
itu posisi bang Adho paling belakang, sedangkan didepan bang Adho ada Iyan.
Cevi
yang jadi leadernya membuat jalan baru, semuannya mengikuti cevi, berjalan dan
terus berjalan, mendaki dan teruslah kami mendaki, demi melihat pencapaian yang
begitu mempesona. Tiba-tiba jalan terhenti. Bang Adho yang paling belakang diam
dan bertanya-tanya. Ternyata kita salah arah. Hampir saja cevi dan Heru
terjerumus ke dalam jurang. Sungguh perjalanan yang sangat menegangkan.
Akhirnya
kami pun balik kanan dan mencoba mencari jalan yang biasa dilalui sawa warga.
Diantara kami belum ada yang tersadar bahwa sekarang sudah menunjukan pukul
23:50 WIB,
Kami
berjalan dan sekarang yang jadi leadernya adalah bang Adho. Di belakang bang
Adho ada Cevi, alhamdulillah kita bisa menemukan jalan setapak yang mungkin
biasa dilalui oleh warga sekitar. Kami berjalan agak cepat, pokoknya yang ada
dipikiran kami adalah air, tempat yang datar, dan ingin cepat-cepat mendirikan
tenda.
Tiba-tiba
kami memasuki jalan yang penuh dengan pohon-pohon yang rimbun, seolah-olah kami
memasuki wilayah terowongan pepohonan. Bang Adho merasa bahwa tempat itu
terdapat aura negatif. Dan bang Adho merasa bahwa teman-teman bang Adho juga
berfikir hal yang sama. Akhirnya bang Adho nyanyi-nyanyi sambil berjalan dengan
suara yang keras, guna untuk membuat tidak takut baik buat bang Adho sendiri
maupun buat teman-teman bang Adho. Hehehe
Lalu
langkah bang Adho terhenti. Karena dilihatnya pandangan didepan yang gelap dan
sudah tak terlihat lagi jalan setapak. Yang ada hanya ilalang-ilalang saja yang
mengarah ke bawah yang kira-kira berkisar 5 meteran. Disorotnya ilalang tersebut
ternyata memberi kabar yang membahagiakan, bahwa kita sebentar lagi sampai di
tempat warga penduduk sekitar.
Bang
Adho berjalan menuju bawah sambil berpegangan dengan Cevi, begitu juga Cevi
berpegangan tangan dengan yang lainnya, dan posisi yang paling belakang adalah
Heru. Tiba-tiba bang Adho terjatuh, kira-kira ketinggiannya dua meteran, Cevi
pun terjatuh dan yang lainnya juga terjatuh. Lalu bang Adho melangkah ke depan
lagi dan ternyata bang Adho pun terjatuh lagi, kira-kira ketinggiannya adalah
lima meter. Sehubung bang Adho berpegangan tangan dengan cevi, Cevi pun ikut
terjatuh juga, dan semuannya terjatuh, brug..brug.. semuanya tertawa, ramai
karena dilihatnya Heru pun terjatuh juga. Kami mengibaskan baju karena biar
tidak terlalu kotor, sambil tertawa-tawa.
Tiba-tiba
tanah yang kita pijak ini ambruk ke bawah, serentak kita berteriak. Kita
terjatuh, bangun lagi dan terjatuh lagi dan begitulah seterusnya. Hingga pada
akhirnya kami menyorot bagian depan kita terlihat ada pepohonan, yang menandakan
bahwa kami tak akan terjatuh lagi. Kami juga lupa entah berapa kali bang Adho
dan teman-teman terjatuh. Tiba-tiba ada diantara kita yang bilang bahwa kita
terjatuh di atas gunung yang pada waktu sore hari kita sempat berfoto ria,
semuanya mengiyakan. Astagfirulloh, ternyata kita terjatuh di ketinggian 200
meter. Memang diantara kami tak ada yang terluka, yang ada hanya keceriaan,
tertawa, mengulang kembali dan membahas bagai mana kita terjatuh. Sungguh
pengalaman yang sangat mengesankan.
Kami
berfikir untuk kembali dan mencari gubuk.rencananya kita beristrahat dan
mendirikan tenda di sana, lagi pula gubuk itu biasa dipakai untuk bermalam sama
warga sekitar ketika sedang berburu. Kami berjalan. Dan perseteruanpun kembali
memanas.
Sudah
muter-muter, kesana-kemari, gubuk itu tak bisa kami temukan, entah kenapa,
seolah-olah gubuk itu raib tanpa bekas, padahal jelas-jelas kami semua melihat
kokohnya gubuk tersebut pada waktu sore hari. Orang-orang pada menyalahkan
iyan, karena hanya iyanlah yang asli penduduk sini. Tanpa sengaja kita berhasil
menemukan aliran sungai, sehubung kami tak bisa menemukan gubuk itu, akhirnya
kami bersepakat untuk berkemah disini yang berposisi di hutan pinus. Jarak
tempat berkemah ke sungai sekitar lima belas meter.
Kami
mendirikan tenda, sebagian ada yang mengambil air untuk keperluan memasak,
sebagian lagi ada yang mencari kayu bakar. Di lihatnya waktu yang telah
menunjukan pukul 02:00 WIB, kami baru tersadar bahwa kami telah berjalan,
mendaki, terjatuh yang semuanya telah menghabiskan waktu selama sepuluh jam.
Astagfirullohal’adzim.
Kamipun
riang dengan kejadian tersebut, ramai, justru menjadikan sebuah pengalam baru
yang insyaaaaAlloh takan terlupakan. Dan kami hanya bisa memetik hikmahnya,
karena hanya orang bijaklah yang bisa mengambil hikmah di setiap peristiwa.
Makananpun
sudah memanggil kita, perut kami sudah tak sabar untuk makan, kami makan
bersama, lalu ngopi bareng, amunisi bareng, yang semuanya itu didukung oleh
alam, faktanya rembulanpun mau menerangi kami yang sedang merasakan nikmat dan indahnya
di malam hari. Suasana yang dingin, berisik dengan suara-suara binatang malam,
menjadikan lengkaplah sudah akan keindahan ciptahan Allah SWT di malam hari, bang
Adhopun bisa menyimpulkan, bahwa kendati kita berada di sebuah hutan yang gelap
gulita, ternyata dibalik kegelapan malam, terdapat cahaya kunang-kunang yang
mampu menjadikan hati insan yang beriman akan bertambah.
Lambat
laun kami semua tertidur, setahu bang Adho terakhir melihat waktu di sebuah
handphone telah menunjukan pukul 03:55 pagi. Bang Adhopun tak tahu jelas
kejadiannya seperti apa, yang jelas bang Adho bangun dengan posisi tengkurup di
dekat api unggun, dan di samping bang Adho ada Irfan dan Heru. Waktu itu jam
menunjukan pukul 05:25, bang Adhopun beranjak pergi ke sungai dan mengambil air
wudhu. Sholat subuhpun diiringi dengan kicauan burung yang merdu, sang suryapun
sedang malu-malu memberikan cahayanya. Perlahan-lahan kabut mulai pudar.
Satu
persatu kami bangun dengan sendirinya. Ada di antara kami yang sedang masak
air. Asap dari perapian yang kami buat menjadikan suasana menjadi ramai
kembali. Kami kembali bekerja sama memasak nasi, dimana kita bekerjasama,
disana pula kita bercanda. Sejuknya pagi sambil di terangi hangatnya mentari
menjadikan hutan yang terkesan horor ini seolah-olah disulap menjadi surganya
dunia. Sungguh tidak salah perintah Allah kepada setiap hamba-Nya untuk
senantiasa mentafakuri, mentadzaburi dan mentasyakuri ciptaan-Nya.
Akhirnya
sarapan pagi pun di mulai, kita makan dengan lahapnya, amunisi serta kopi takan
pernah terlewatkan. Pancaran senyum dari kami semua laksana pahlawan yang baru
selesai berjuang di medan perang.
Setelah
menikmati sebagian keindahan alam ini, kami semua berkemas, membereskan
masing-masing logistik dan properti.
Kami
berdiri dan mengabadikan momen tersebut serta berdoa supaya diselamatkan dan di
sampaikanlah kami semua ke rumahnya masing-masing. Amin..amin yaa
robbal’alamin.
Kaki
kananku mewakili langkah kami. Semua bersorak, bergembira, mulailah mencari
jalan keluar munuju warga daerah setempat. Hanya sekitar 10 menit kami sudah
sampai di rumah penduduk. Padahal semalam kami sangat sulit mencari jalan
keluar dari hutan ini. Tapi semuanya tidak menjadikan kami rugi, justru kami beruntung, ternyata Allah SWT tetap
bang Adhong kepada kami semua, buktinya kami masih diberi nikmat sehat wal
afiyat.
Semoga
cerita pengalaman bang Adho, menjadi insfirasi buat para pembaca, bahwa Allah
SWT tidak akan memberikan cobaan diluar batas kemampuan manusia itu sendiri.
Terimakasih
buat Cevi, Irfan, Iyan, Heru, Ridwan, Ari, dan Bangjo.
Bandung,
Maret 2015
Rifan Adlan Hakim




Tidak ada komentar:
Posting Komentar